HASIL DISKUSI DARING (WA ONLINE) MENGENAI TEKS OPINI MATA KULIAH BAHASA INDONESIA DOSEN PENGAMPU TITI SETIYONINGSIH, S. Pd, M. Pd.

Resananda

NIM: E3119110

Prodi Diploma IV Demografi dan Pencatatan Sipil 
Universitas Sebelas Maret Surakarta

HASIL DISKUSI DARING (WA ONLINE) MENGENAI TEKS OPINI MATA KULIAH BAHASA INDONESIA DOSEN PENGAMPU TITI SETIYONINGSIH, S. Pd, M. Pd.


Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
        Bagaimana kabarnya teman-temanku semua, lama tidak berjumpa kembali dengan saya Resananda. Kali ini ada sesuatu hal yang menarik untuk disimak terkait dengan teks opini. Kemarin hari rabu, 13 Mei 2020 pukul 08.00 WIB ada kelas bahasa indonesia. Bu Titi Setiyoningsih, S.pd, M. Pd. memberikan kita 3 teks opini yang kemudian dibahas via WA Grup.

1. Teks Pertama "Genangan"
        
Genangan 
Rainy M.P. Hutabarat (Kompas, 6 Jan 2018) 

        Banjir dan genangan adalah dua kata yang selalu muncul di media massa saat musim hujan. Perbedaan kata ini pernah ramai dibahas tahun 2015 saat Djarot, wakil gubernur DKI waktu itu, mengatakan bahwa banjir setinggi 70 sentimeter di Kampung Arus RW 02, Kramatjati, Jakarta Timur, hanyalah genangan. Warganet pun tersentak dan riuh. Masak air setinggi 70 sentimeter disebut genangan? 
        Masyarakat, termasuk media massa, sebenarnya tak ambil pusing ihwal perbedaan banjir dengan genangan. Genangan yang diakibatkan oleh air yang meluap dari kali atau selokan, ya banjir itu sendiri. Apalagi, seperti kata Sutopo Purwo Nugroho dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), baik banjir maupun genangan sama-sama merugikan masyarakat. (Detik.com, 21/2/2017) 
        Dinas Tata Air DKI, BNPB, dan Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI mendefinisikan genangan secara berbeda, tentu saja dari perspektif instansi masing-masing. Menurut Dinas Tata Air DKI, ketinggian genangan adalah 40 sentimeter dan air surut paling lama dua jam. Dari segi dampak, genangan baru bisa disebut banjir jika menyebabkan pengungsian. (Kompas.com 27/12/2015) 
        Buku Dinas PU DKI memaparkan bahwa banjir merupakan keadaan aliran air dan atau elevasi muka air dalam sungai atau kali atau kanal yang lebih besar atau lebih tinggi dari normal. Genangan yang timbul di daerah rendah sebagai akibat yang ditimbulkannya termasuk dalam pengertian ini. Genangan sendiri diartikan sebagai peristiwa terhentinya air atau air tidak mengalir. Bisa saja di satu lokasi ada genangan meski tinggi muka air di sungai masih di bawah rata-rata. 
        Artinya, genangan bisa disebabkan oleh banjir dan bisa juga masalah lainnya; genangan air tak selalu berpaut dengan banjir. 
        Selokan yang penuh sampah dan pasir, sementara permukaan jalan yang lebih rendah, sering mengakibatkan genangan air di jalan saat musim hujan bahkan kemarau. Jalan yang berlubang-lubang menjadi kubangan air di musim hujan. Tesamoko (Eko Endarmoko, Edisi Kedua) memadankan genangan dengan kubangan. Kubangan air di jalan-jalan adalah genangan. Kubangan berkata dasar kubang, diartikan sebagai ’tanah lekuk yang berisi air dan lumpur tempat kerbau berendam diri atau berguling-guling’ (KBBI Edisi IV Pusat Bahasa).  
        Arti yang jauh dari bencana banjir dan justru menerbitkan kerinduan terhadap alam pedesaan. Atap rumah yang bocor mengakibatkan genangan air di lantai saat hujan lebat walau ketinggiannya hanya 1-2 sentimeter. KBBI IV mendefinisikan danau sebagai ’kumpulan genangan air yang luas yang dikelilingi oleh daratan’. 
        Bagi kanak-kanak, genangan di jalanan adalah surga tempat bermain. Bagi yang terjebak kemacetan di jalan-jalan di DKI saat hujan deras, genangan yang tingginya ”hanya” 30 sentimeter dan baru surut empat jam merupakan neraka jahanam. Bagi politisi busuk, genangan adalah bahan kampanye untuk menjelekjelekkan kandidat X. Kata peribahasa, tempat rendah menjadi genangan air. Genangan di sini tak berurusan dengan banjir atau limpahan air selokan yang hitam dan bau, melainkan menunjuk kepada ”pemimpin yang baik yang mampu menjadi sandaran bawahannya”. 
Pembedaan banjir dan genangan tentu diperlukan bagi penanggulangannya oleh instansi-instansi terkait. Namun, satu hal pasti: banjir dan genangan terjadi karena alam dan atau lingkungan yang rusak. * Cerpenis dan Pekerja Media 


Sudah tahu kan apa yang dibicarakan? iya benar, Perdebatan mengenai Banjir dan Genangan, menurut Elsa Marista arti kata banjir adalah berair banyak dan deras, kadang-kadang meluap. menurut KBBI arti kata tergenang adalah terhenti mengalir. Mungkin Pak Djarot lebih memilih kata 'tergenang' sah-sah saja. Karena menurutnya jika banjir itu airnya mengalir dan air tersebut bisa menghanyutkan barang-barang, dan akan dilakukan tindakan pengungsian. Sedangkan genangan memang hanya sekian jam kejadiannya 
        menurut pendapat saya pribadi teks opini diatas juga menyebutkan beberapa sumber dan fakta. Perlu diketahui bahwa perbedaan pengistilahan bukan berarti memperkeruh suasana untuk menyelesaikan solusi banjir yang ada. Oleh karena itu pesan yang disampaikan adalah mari kita bersama sama untuk mencari jalan keluar terkait dengan bencana alam yang terjadi seperti halnya banjir pada musim penghujan


2. Teks Kedua "Maksud dan Niat"

Maksud dan Niat 
Bambang Kaswanti Purwo (KOMPAS, 25 Maret 2017) 

            Samakah makna kedua kata ini: maksud dan niat? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyamakan keduanya. Salah satu makna kata maksud adalah ’niat, kehendak’ dan makna kata niat ’maksud, kehendak’. Kesinoniman kedua kata itu tampak saat digunakan berkalimat. Masing-masing dapat saling menggantikan. Di KBBI pun contohnya persis sama: maksud/niat baik. 
            Di dalam kamus Indonesia-Inggris (Stevens dan Schmidgall-Tellings, 2009), kedua kata itu juga diperlakukan bermakna sama: ’intention’. Keduanya juga sama-sama dipadankan dengan rencana ’plan’. Demikian pula halnya pada Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia susunan Eko Endarmoko, sama-sama tercantum rencana pada masing-masing kata itu. 
            Bagaimana dengan penutur bahasa Indonesia manakala menggunakan kedua kata itu dalam berkalimat? Keduanya memang dapat saling menggantikan pada kalimat yang sama, misalnya, saya bersukacita karena niat/maksud saya terkabul; saya tidak ada niat/maksud untuk melakukan itu. Namun, ada juga pemakaian kata niat yang tidak tergantikan dengan maksud. Contohnya: pernyataan yang diutarakan pada malam tahun baru, misalnya, niat saya mulai tahun baru ini tidak akan merokok lagi. Sebaliknya, ada penggunaan kata maksud yang tidak tergantikan dengan niat, misalnya, jelaskan maksud yang terkandung di dalam ayat tersebut; Sri Mulyani menjelaskan maksud pernyataan Joko Widodo mengenai acuan mata uang perekonomian dalam […]. 
         Jadi, maksud dan niat tidak merupakan kata yang persis sama makna dan tidak senantiasa dapat saling menggantikan manakala digunakan dalam berkalimat. Ada konteks tertentu yang memungkinkan kedua kata itu saling menggantikan, tetapi ada juga konteks lain yang merupakan kekhasan masing-masing. 
            Pertanyaannya: apabila kedua kata itu dapat saling menggantikan, nuansa makna yang mana yang memungkinkannya begitu? Demikian pula, apabila kedua kata itu dapat berbeda makna, dalam hal apa perbedaannya? Jawabannya dapat ditelusuri dengan mencermati penutur bahasa Indonesia saat menggunakan kedua kata itu: makna ’intention’ yang bagaimanakah dan pada konteks yang manakah? 
        Makna yang memungkinkan kedua kata itu dapat saling menggantikan adalah ’intention’ yang bernuansa ’rencana’, seperti pada contoh di atas dan contoh ini: tahun depan saya bermaksud/berniat akan merenovasi rumah. Bagaimana perbedaan kedua kata itu? Kamus dan tesaurus di atas menyebutkan kekhasan masingmasing kata itu. Pada larik terakhir tertera: niat adalah ’intention’ yang bernuansa ’kaul, nazar’ atau ’janji pada diri sendiri’. Dengan mengatakan ”Niat saya tahun depan akan [….]”, si penutur menyampaikan resolusi, tekad untuk dilaksanakan. Dengan 
        ”Apa maksudnya bertanya seperti itu?”, si penutur ingin tahu apa makna tuturan penanya. 
        Kata niat tidak dapat bersinonim dengan makna, sedangkan kata maksud dapat, sebagaimana tertera pada kamus dan tesaurus. Meskipun bersinonim, ada perbedaan antara makna dan maksud. Kata mean pada ”What does this word mean?” berpadanan dengan makna, sedangkan mean pada ”What do you mean?” diindonesiakan dengan maksud (Kompas, 14/1/2017). 
            Bagaimana merangkum persamaan dan perbedaan di antara maksud dan niat?  Maksud dan niat sama-sama bermakna ’intention’. Akan tetapi, ’intention’ pada maksud berurusan dengan konteks bertutur (bahasa), sedangkan ’intention’ pada niat terkait dengan tindakan atau tekad untuk berbuat. Bandingkan kedua dialog ini. Maksud terkait makna tuturan (bahasa): Maksudnya apa sih?—Tidak lucu! Niat terkait tindakan, tekad: Niatnya apa sih?—Menjaga kebersihan. 
             Bahwa niat bukan urusan bahasa, di dalam linguistik tidak ada teori yang membahas ihwal niat, tetapi uraian ihwal maksud (makna penutur) dikupas panjang lebar. 
* Guru Besar Linguistik, Unika Atma Jaya 
 

            Dalam teks yang kedua ini, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyamakan makna 'maksud' dan 'niat' yang berarti "yang dikehendaki". Tetapi dalam konteks lain kata ini bisa dikatakan berbeda seperti contoh "Apa yang dimaksud dari pertanyaannya itu?" beda dengan "Apa niat dari pertanyaannya itu?" terjadi kerancuan dalam kalimat, Iya kan? hal ini menyebutkan bahwa adanya kekhasan masing-masing kata itu sendiri. Juga dalam kata asing penulisan kata harus di cetak miring (italic), seperti contoh Intention dan plan yang seharusnya adalah Intention dan plan


3. Teks Ketiga "Kata-Kata yang Memuai"

Kata-Kata yang Memuai 
Bagja Hidayat (Majalah Tempo, 12 Jun 2017) 

            Seorang teman dari Korea Selatan masygul ketika mendengar seorang Indonesia berseru, “Wah, mau hujan,” pada sebuah sore yang mendung. 
             “Wow, bagaimana caranya?” ia pun bertanya. Ia menyangka, teman orang Indonesia itu sedang menginginkan hujan atau berminat pada hujan seperti minatnya mengunyah es krim. 
            Dialog keduanya kemudian tidak bersangkut paut hingga satu orang Indonesia lain melerai dan menjelaskan maksud seruan itu. “Mau hujan” tidak berarti “I want to rain” seperti dalam bahasa Indonesia kendati kata “mau” dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan “want” dalam kamus Indonesia-Inggris. “Mau hujan” dalam kalimat itu memiliki arti “akan hujan”, yang padanannya persis sama dengan bentukan dalam bahasa Inggris “It will rain”. 
        Teman dari Korea Selatan ini menggeleng-gelengkan kepala setelah mendengar penjelasan ini. “Susah sekali belajar bahasa, ya?” Ia sudah menetap di Jakarta selama lima tahun tapi hanya memakai bahasa Indonesia untuk percakapan pendek dengan sopirnya, memesan kopi di restoran, atau bertanya arah jalan kepada satpam. Dia menghindari penggunaan kalimat panjang yang memiliki arti kompleks dan memilih memakai kalimat dalam bahasa Inggris agar tak terjadi kesalahpahaman dari lawan bicaranya. 
            Bahasa Indonesia berakar pada bahasa Melayu Riau yang tentu juga dituturkan oleh orang Jawa dan Sunda, yang sesungguhnya tak punya akar dan pertautan genetik dengan bahasa Melayu. Di kampung-kampung di Jawa Barat, masih banyak orang yang memandang aneh mereka yang berbicara dalam “bahasa Jakarta”, varian lain bahasa Melayu. Di kalangan kelas menengah bahkan tak jarang muncul cibiran jika bertemu dengan orang yang memakai “bahasa Indonesia yang baik dan benar” dalam percakapan. 
            Bahasa Indonesia mungkin aneh sehingga bahasa percakapan dan bahasa tulis bisa begitu berbeda. Dalam bahasa lisan, meski dalam banyak bahasa lain di dunia juga terjadi, kalimat bahasa Indonesia sering tak komplet dan mengandung konteks yang hanya diketahui oleh orang Indonesia. 
         Ketika teman asal Korea tersebut mendengar kalimat “Dia mah orangnya suka drama”, dia menyangka kalimat itu sepadan dengan “Dia menyukai (film) drama.” Padahal artinya lain sama sekali. Seperti sebuah poster di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, yang berbunyi “Bagi kamu yang suka drama” ini tak berarti imbauan untuk mereka yang menyukai film cerita. 
            Arti kata “drama” dalam bahasa percakapan telah memuai dan menggelembung menampung arti lain yang tak dimiliki kata lain. “Drama” dalam kalimat “dia mah orangnya suka drama” berarti orang itu suka melebih-lebihkan situasi yang biasa saja menjadi dramatis. Entah karena pengaruh sinetron yang memang acap melebih-lebihkan peristiwa biasa saja, kata “drama” diterima dalam percakapan publik (baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia) dengan arti sebagai orang yang gemar mendramatisasi keadaan. “Drama” sebagai kata benda yang tercantum dalam kamus berubah menjadi kata kerja dalam percakapan. 
            Demikian pula kata “mantan”, yang dalam percakapan seolah-olah hanya merujuk pada “bekas pacar”. Apalagi penyanyi Raisa Andriani memperkokoh prasangka dalam bahasa itu dengan lagunya yang sangat populer: Mantan Terindah. Padahal kata ini melekat pada kata lain yang merujuk pada jabatan, seperti “mantan Menteri Dalam Negeri” atau “mantan camat”. 
            Tragedi “mantan” ini mungkin hampir sepadan dengan pemuaian kata “tegar”, yang dipopulerkan oleh penyanyi Rossa dalam lagu yang juga populer dengan judul memakai kata itu. Jika menyimak syairnya, Rossa telah terseret memakai makna umum pada kata ini yang dipahami sebagai “tabah” atau “sabar”. Padahal arti sesungguhnya kata ini adalah “kaku”, “keras”, “kering”, yang merujuk pada “kaku yang kokoh dan diam seperti karang”. Maka ada ungkapan “setegar karang.” 
           Mungkin karena dalam bahasa Jawa “tegar” itu diartikan tabah, sehingga pemahaman umum menjadi terseret pada arti itu. Ada yang mengatakan bahwa pemuaian hal biasa dalam bahasa. Sebuah kata akan menemukan arti baru jika dipakai secara terus-menerus dengan arti seperti itu. Mungkin benar. Tapi kita akan segera kehilangan kata “tegar” yang berarti “kaku dan keras” karena kata ini punya arti baru untuk menyebut “ketabahan”. Apalagi kamus sudah menyerap pula arti baru dalam lema ini. 
            Kerugian lain adalah makin banyak orang asing yang kesulitan mempelajari bahasa ini karena tak ada patokan yang jelas. Orang asing di sini tak hanya orang di luar Nusantara, tapi kita semua karena orang Indonesia pun masih harus mempelajari bahasa ini dengan susah-sungguh. Buktinya, para menteri dan presiden masih kisruh membedakan “di” sebagai kata depan dan “di” sebagai imbuhan. Juga tak kunjung bisa membedakan pemakaian “mengubah” dan “merubah”. * Wartawan Tempo 


        Dalam Teks Ketiga ini meskipun ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia tidak serta merta jadi bahasa ibu bagi masyarakatnya. Tidak sedikit orang yang dibesarkan dari keluarga yang dominan menggunakan bahasa daerah. Namun demikian, mereka paham Bahasa Indonesia meskipun tidak mesti belajar secara formal terlebih dulu seperti pembelajaran bahasa Inggris di kursus-kursus. Bisa dibilang, yang mempelajari secara baik itu hanya orang asing dan guru bahasa saja. Ternyata Kita jadi sering abai saat berbahasa Indonesia karena merasa sudah bisa (dan biasa) menggunakannya. seperti contoh kata 'mau' dan 'ingin' dalam konteks ini berbeda maksud jika dihubungkan ke dalam kondisi/situasi. Menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia mungkin aneh sehingga bahasa percakapan dan bahasa tulis bisa begitu berbeda.  Dan masih banyak lagi argumen saya terkait berbahasa indonesia yang mudah dimengerti dan dipahami oleh orang lain. Next time kita akan bertemu lagi. 


Terima Kasih

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Komentar

Postingan Populer